TMMD  

Tradisi Balang Sega, Ini Ulasan Singkat Mbah Sadisan

BOJONEGORO, – Sejarah tradisi turun temurun di Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, menjadi sorotan khusus tim ekspedisi Penerangan Korem (Penrem) 082/CPYJ dalam menggali potensi daerah tempat berlangsungnya program terpadu lintas sektoral TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke- 105 diwilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Tokoh masyarakat, Sadisan (84), menceritakan seputar korelasi antara punden “Mbah Kobot” di Gunung Panji, dengan tradisi yang hingga saat ini dilakukan warga Desa Tondomulo.

Menurut Sadisan, sebagian warga masih berpedoman, bahwa bila dalam pelaksanaan sedekah bumi tidak di ikutsertakan beberapa kesenian, alam akan marah. Kemarahan itu identik dengan adanya berbagai bencana atau musibah.

Sugesti warga akan ada hal-hal yang tidak diinginkan bila sedekah bumi tidak dilaksanakan, lebih cenderung pada tradisi, tidak lebih dari itu.

Bacajuga  TMMD, Kapten Imam Ansori Ucapan Terimaskih Pada Kru Hiburan

Lebih lanjut, tradisi itu merupakan warisan leluhur yang patut untuk dilestarikan, meskipun disisi lain ada konteks sisi supranatural dalam pelaksanaannya. Konteks supranatural yang dimaksud lebih cenderung pada tradisi turun temurun, dan sudah mengakar hingga generasi masa kini.

“Tiap tahun, tradisi ini diikuti warga dari Dusun Jantok, Tondomulo dan Kedungbulus. Pada pelaksanaannya, selalu tiap tahun setiap hari ‘Rabu pon’ dan diadakan di punden ‘Sendang Panji’ Desa Tondomulo,” tuturnya.

Warga Desa Tondomulo melaksanakan tradisi manganan atau nyadran yang populer disebut ‘Balang Sega’, dan manganan umumnya dilakukan dengan perkakas yang digunakan ‘Tolok atau Boran’ sebagai tempat nasi untuk saling melempar makanan.

Perang nasi bisa dikatakan sangat unik, karena disini warga saling serang dengan melempar berbagai makanan.

Bacajuga  Sulit Air, Satgas TMMD dan Warga Cari Air di Pedalaman Hutan

“Tradisi tersebut sejak dahulu sudah dilakukan, namun bentuknya berbeda. Seiring perubahan jaman, ada sedikit perbedaan pada pelaksanaannya,” jelasnya.

Menurutnya, hal ini terjadi karena masuknya modernisasi, dan dia mencontohkan, bila jaman dulu, seluruh menjalankan ritual dengan jalan kaki ketempat punden. Tetapi sekarang, warga menuju lokasi ada dengan berkendara motor, juga ada yang berjalan kaki secara rombongan.

Demikian juga penerangan, kalau jaman dulu, warga menggunakan obor disekitar lokasi, tetapi tidak jaman sekarang, perlengkapan genset, dan lampu listrik menjadi sumber pencahayaan.

Dari kacamata umum, biasanya tradisi manganan dilakukan dengan cara memasang sesaji-sesaji, dan biasanya lebih condong pada suatu sendang atau sumber mata air. Tradisi itu sebenarnya “terjemahan” sumber airlah yang telah mendongkrak atau mensupport hasil panen. (candra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *