Nganjuk, SRTV.CO.ID – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Nganjuk tahun anggaran 2023 menuai sorotan tajam terkait alokasinya.
Penelitian yang dilakukan oleh lembaga kajian edu-politik Kabupaten Nganjuk, mengungkap bahwa sebagian besar anggaran daerah justru dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, sementara anggaran untuk masyarakat miskin dinilai sangat minim.
Direktur media edu-politik, Pujiono, yang juga seorang advokat dan konsultan hukum, mengungkapkan keprihatinannya terhadap temuan penelitian tersebut.
“Anggaran buat si miskin terlalu kecil, kalah jauh dibanding belanja pegawai dan pengadaan barang dan jasa. Sepertinya APBD kita habis untuk kepentingan birokrasi saja,” ujarnya.
Data APBD Kabupaten Nganjuk tahun 2023 menunjukkan total pendapatan sebesar Rp 2.302,59 miliar. Sementara itu, total belanja daerah mencapai Rp 2.573,09 miliar, sehingga terdapat defisit sebesar Rp 271 miliar yang ditutupi dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya.
Rincian pos belanja menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Belanja pegawai tercatat sebesar Rp 1.176,63 miliar, diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp 611,39 miliar, belanja modal sebesar Rp 230,54 miliar, dan belanja lain-lain sebesar Rp 554,53 miliar. Ironisnya, belanja bantuan sosial hanya sebesar Rp 11,85 miliar atau kurang dari satu persen dari total belanja.
“Kalau kita melihat proporsinya, maka yang menikmati langsung dana publik ini bukan warga miskin, tapi birokrasi. Ini bentuk ketimpangan struktural,” tegasnya.
Lebih lanjut, Pujiono menyoroti alokasi dana hibah untuk tenaga honorer pendidikan yang dinilai sangat kecil, yaitu hanya sebesar Rp 418,4 juta. Dengan rincian, tenaga kerja non-PNS hanya menerima Rp 200 ribu per bulan dan guru honorer Rp 1 juta per bulan.
Padahal, konstitusi dan undang-undang telah mengamanatkan alokasi anggaran minimal sebesar 20 persen untuk pendidikan (UUD 1945 & UU No. 20/2003) dan 10 persen untuk kesehatan (UU No. 36/2009).
Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan apakah proporsi ideal tersebut terpenuhi dalam APBD Kabupaten Nganjuk.
Pada perubahan APBD 2023, terjadi peningkatan pendapatan menjadi Rp 2.609 miliar, namun belanja juga ikut melonjak hingga Rp 2.974 miliar.
Defisit kembali ditutup dengan pembiayaan dari SILPA. Peningkatan belanja yang signifikan justru terjadi pada pos-pos yang diduga kuat untuk kepentingan birokrasi, seperti belanja pengadaan barang dan jasa yang naik 35 persen, belanja hibah naik 126 persen, serta belanja modal gedung dan bangunan yang melonjak hingga 274 persen.
Sementara itu, belanja bantuan sosial hanya mengalami kenaikan sebesar 5 persen menjadi Rp 12,42 miliar.
Minimnya partisipasi publik dalam perencanaan anggaran juga menjadi sorotan.
Kepala Bidang BPKAD Nganjuk, Panggih, menyatakan bahwa masyarakat dapat memantau anggaran melalui situs indeks keuangan daerah.
Namun, Pujiono menilai bahwa fakta di lapangan menunjukkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan anggaran.
“Harusnya rakyat tidak hanya jadi objek, tapi subjek pembangunan. Rakyat harus terlibat sejak perencanaan hingga evaluasi,” tandasnya.
Menyikapi kondisi ini, Pujiono menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran daerah.
Ia mengingatkan agar pembangunan tidak hanya menguntungkan elit birokrasi, sementara masyarakat kecil hanya menjadi penonton.
“Negara yang kuat tak harus membuat rakyatnya lemah. Rakyat hanya ingin ada tawar-menawar yang adil agar kemerdekaan itu benar-benar 100 persen, termasuk dalam hal kesejahteraan,” pungkasnya.
Kritik terhadap postur APBD Kabupaten Nganjuk 2023 ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah untuk lebih memprioritaskan kebutuhan masyarakat, terutama kelompok miskin, dalam alokasi anggaran di masa mendatang.
Reporter : Tim Redaksi SRTV