Nganjuk, SRTV.CO.ID – Fenomena serangan fajar jelang Pilkada serentak kembali menjadi tradisi yang dinanti sebagian masyarakat di Kabupaten Nganjuk.
Praktik politik uang yang sejatinya melanggar undang-undang kini semakin dianggap lumrah. Bahkan, muncul anggapan bahwa seorang kandidat yang tidak memberikan “amplop” dianggap mencederai demokrasi. Ironi ini mencerminkan betapa terpasungnya nilai luhur demokrasi di tengah pragmatisme politik.
Pantauan wartawan SRTV.CO.ID menunjukkan bahwa semua pasangan calon (Paslon) yang bertarung kali ini, yakni Paslon 01 Muhammad Muhibin Nur-Ausaf Fajar Herdiansyah atau Gus Ibin-Aushaf. Paslon 02 Ita Tribawati-Zuli Rantauwati atau Bunda Ita-Mbak Zuli, serta Paslon 03 Marhaen Djumadi-Trihandi Cahyo Saputro atau Kang Marhaen-Mas Handy, diduga menggunakan strategi serangan fajar.
Bentuknya beragam, mulai dari sembako hingga uang tunai dengan nominal antara Rp30.000 hingga Rp100.000 per suara. Kondisi ini menegaskan bahwa kekuatan finansial menjadi penentu utama dalam merebut kursi kepemimpinan di Pendopo Kabupaten Nganjuk.
Sayangnya, demokrasi transaksional semacam ini bukan tanpa dampak buruk. Sejarah mencatat bahwa tiga Bupati Nganjuk sebelumnya, Sutrisno, Taufiqurahman, dan Novi Rahman Hidayat semuanya berakhir di jerat kasus korupsi.
Politik berbasis modal besar tak jarang memaksa kepala daerah untuk mencari celah mengembalikan “investasi” mereka, sering kali melalui cara yang melanggar hukum.
Pada Pilkada kali ini, setiap kandidat membawa ciri khas dan strategi yang berbeda.
Paslon Gus Ibin-Aushaf mengusung pendekatan agamis dan menggandeng komunitas pesantren. Bunda Ita-Mbak Zuli tampil dengan narasi pembaruan dan keberpihakan terhadap perempuan. Kang Marhaen-Mas Handy mengedepankan isu kerakyatan dan solusi ekonomi pedesaan. Namun, visi-misi tersebut terancam kehilangan esensi jika praktik politik uang terus mendominasi.
Masyarakat Nganjuk harus menyadari bahwa serangan fajar hanya membawa keuntungan sesaat tetapi meninggalkan kerusakan jangka panjang.
Demokrasi bukanlah transaksi, melainkan proses memilih pemimpin terbaik yang membawa harapan baru. Jika tidak ada perubahan pola pikir, demokrasi di Bumi Anjukladang hanya akan menjadi preseden buruk yang mencoreng wajah politik lokal.
Sudah saatnya kita merefleksikan kembali makna demokrasi sejati. Jangan biarkan uang menentukan masa depan Nganjuk. Pilihlah pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan, bukan yang hanya menawarkan amplop kosong harapan.
Penulis : BJ Kusumo