srtv.co.id Nganjuk Pentas wayang di lapangan Desa Bareng, Kecamatan Sawahan dalam rangka tasyakuran pasca pelantikan Bapak Purwoko, SH Anggota DPRD Kabupaten Nganjuk. Dalang KI.Dwijo Kangko dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” dengan seperangkat gamelan, dan para sinden trampil asal jawa tengah.
Dalam rangka syukuran pasca pelantikan , dihelat pementasan wayang kulit dengan Dalang KI.Dwijo Kangko di Lapangan Desa Bareng kecamatan Sawahan Nganjuk Jawa Timur. Dalam pementasan itu dalang dari Jawa tengah “naik daun” ini membawakan lakon “Wahyu Cakraningrat”. Adakah korelasi cerita pewayangan ini dalam konteks Bareng kekinian dengan Anggota DPRD dari fraksi Gerindra selama Dua Pereode Jika ada, seberapa dalam makna tuntunan dimensi-dimensi wayang terhadap percaturan Seputar wakil Rakyat daerah pemilihan V.
Meski secara umum KI.Dwijo Kangko yang masih terbilang muda ini teguh mengimani pakem klasik jagad pewayangan, dia tak keberatan untuk mengadopsi trend pementasan pembaharuan dalang kondang di mata publik yang sebelumnya pernah beberapa kali mementaskan kepiawaiannya di Tanah Jawa. Tentu, KI.Dwijo Kangko berbeda dengan dalang – dalang pada umumnya.

Pementasan dengan audiens berjubel yang menyusut pada pasca tradisi limbukan dan menyusut lagi setelah lewat fase goro-goro merupakan gejala sosiologis massa apresian pada umumnya, dimana-mana. Secara kuantitas mungkin ini merupakan sinyalemen awal surutnya salah satu dari dua aspek terpenting wayang tuntunan dalam tontonan.
Namun secara kualitas, pementasan lakon “Wahyu Cakraningrat” emang sarat wewarah dalam konteks kepemimpinan sebuah jabatan yang mengemban wakil rakyat, memiliki taut korelasi yang kuat hari-hari ini.
Dan sanggit sang Dalang KI.Dwijo Kangko dengan konvensi tradisi jejeran dan pathet telah mentransformasikan pertunjukkannya, di tengah audiens dengan spiritualitas Jawa kekinian yang nampak surut militansinya.
Dalam “realitas” genesis kewahyuan, Cakraningrat itu seorang dewa yang turun dari alam kahyangan dengan nama Batara Cakraningrat. Berbeda dengan wahyu dalam jagad pewayangan yang kebanyakan diturunkan oleh Batara Wisnu, maka Cakraningrat itu diturunkan oleh Batara Kamajaya dan Kamaratih istrinya.
Wahyu Cakraningrat disebut pula wahyu keraton, sebab dalam mithologi Jawa Wahyu Cakraningrat merupakan abstraksi yang menghimpun karunia-karunia Sanyang Wenang dari muatan aspek rajawi.
Sang dalang mengisahkan perjalanan Sang Cakraningrat sebagai seorang dewa yang atas wenang Hywang Pada harus menitis pada ketiga pemburunya yang tengah bertapa di bumi Mayapada.
Ketiga orang itu adalah Lesmana Mandrakumara, putra Suyudana raja Astinapura. Kemudian tercatat pula Samba ksatria Parang Garudha anak dari Prabu Kresna raja Dwarawati. Yang ketiga adalah Abimanyu ksatria Plangkawati keturunan Arjuna dari istri Subadra.
Ketiganya manekung, mesu-raga, mesu-budi, dalam rangka mendapatkan wahyu yang jadi muatan simbol dan abstraksi dari kehendak kesejahteraan manusia semesta.
Karena wahyu ini merupakan abstraksi yang memuat amanah keagungan semesta, maka secara epika nalar tentu layak menjadi pertimbangan paling utama bagi siapa pun yang menghendakinya.
Di sisi lain, kehendak Hyang Pada Wenang akan kelestarian bumi yang harus manifest ke dalam kuasa kebijakan dalam menata dan mengatur (aspek rajawi) bagi Sang penerimanya. Maka Batara Cakraningrat menguji ketiga ksatria pemburu yang menunggu turunnya.
Apakah kesadaran spiritualitas Jawa yang dipertuntunkan dalam tontonan wayang dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” seperti ini telah jadi resensi dan referensi pada syukuran pelantikan Suko Purwoko, SH, sebagai Anggota DPRD Kabupaten Nganjuk dari fraksi Gerindra.
Reporter : Toha, Saiful Arifin
Editor : Ian