Nganjuk, SRTV.CO.ID – Wakil Bupati (Wabup) Nganjuk, Trihandy Cahyo Saputro, membuat gebrakan dengan mengembalikan seluruh parsel ucapan Hari Raya Idulfitri yang diterimanya dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Nganjuk.
Langkah ini diambil sebagai bentuk penegasan sikap anti-gratifikasi dan komitmen untuk membangun pemerintahan yang bersih.
Trihandy menjelaskan bahwa sebagai seorang pemimpin yang berintegritas, ia ingin memberikan contoh nyata kepada bawahannya agar tidak terlibat dalam praktik gratifikasi.
“Di era sulit seperti ini, di bawah tekanan efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo, seharusnya Kepala OPD bekerja keras untuk melayani rakyat, bukan melayani pejabat,” tegas Trihandy.
Keputusan Trihandy ini menuai beragam respons positif dari masyarakat. Banyak yang memuji langkahnya sebagai upaya membangun pemerintahan yang lebih transparan dan berorientasi pada pelayanan publik.
Sikap ini juga menjadi tantangan bagi pejabat lain untuk merefleksikan kembali budaya pemberian parsel di lingkungan pemerintahan.
Menanggapi hal ini, Dr. Wahju Prijo Djatmiko, seorang pengamat hukum, menyatakan bahwa pemberian parsel saat Lebaran oleh OPD kepada pejabat puncak merupakan tradisi yang membudaya dan telah terjadi di setiap Lebaran.
“Sikap yang diambil Wabup patut diapresiasi sebagai bentuk sikap pemimpin yang hati-hati serta memandang bahwa tradisi pemberian parsel merupakan kebiasaan yang bisa dihentikan karena hal tersebut berpotensi mengarah pada praktik gratifikasi bila tidak dikendalikan,” ujarnya.
Menurut Wahju, berdasarkan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, termasuk uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Parsel yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap sebagai gratifikasi jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan atau kewajiban, atau jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi penyelenggara negara agar berbuat menyimpang dari tugas dan kewajibannya.
Setiap gratifikasi yang diterima wajib dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dalam batas waktu 30 hari kerja sejak penerimaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 12C UU 20/2001.
Wahju menambahkan bahwa jika nilai gratifikasi Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Namun, jika nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi penerimaan dari pihak lain berupa cendera mata dalam kegiatan resmi kedinasan, serta kompensasi yang diterima yang terkait dengan kegiatan kedinasan. Sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik kepentingan, atau melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.
Dengan kebijakan ini, Trihandy menunjukkan komitmennya untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani. Langkah berani ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pejabat lainnya dalam menegakkan prinsip pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip ‘servant leadership’ dan berusaha menjaga diri dari praktik yang berpotensi gratifikasi.
Namun, penolakan parsel ini juga menimbulkan berbagai persepsi di kalangan kepala OPD. Salah satu kepala OPD yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Banyak persepsi yang muncul, bahkan tidak sedikit yang berpikir apakah kami berbuat kesalahan, atau beliau marah. Padahal ini sebagai bentuk perhatian kami kepada pimpinan kami.”
Reporter : Inna Dewi Fatimah