Berita  

Ahli Hukum Menyebut MK Sulit Mengabulkan Gugatan Selisih Hasil Pilkada, Peluang Sangat Sedikit

SRTV.CO.ID – Menjelang penutupan pengajuan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pukul 00.00 WIB, tercatat sebanyak 240 permohonan telah diterima oleh MK.

Dari jumlah tersebut, dua merupakan sengketa pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 194 sengketa pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 44 sengketa pemilihan wali kota dan wakil wali kota. Jumlah ini masih berpotensi bertambah hingga batas akhir pengajuan.

Menurut pemerhati hukum di Nganjuk, Dr. Wahju Prijo Djatmiko, fenomena PHPKada bukanlah hal baru.

Berdasarkan data historis, mayoritas gugatan yang masuk ke MK sulit dikabulkan. Dari rekapitulasi perkara sebelumnya, 495 gugatan ditolak, 509 tidak diterima, 35 ditarik kembali, 7 dinyatakan gugur, 7 dianggap di luar kewenangan MK, dan hanya 83 yang dikabulkan.

“Banyaknya gugatan yang tidak dikabulkan MK menunjukkan lemahnya pembuktian dari penggugat, baik dalam aspek materiil maupun formil,” ujar alumnus PDIH UNDIP Semarang ini, Kamis (12/12/2024)

Lebih lanjut ia menjelaskan, syarat formal dan materiil dalam gugatan PHPKada sangat ketat, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 157 ayat (5).

Gugatan harus diajukan dalam waktu tiga hari kerja setelah pengumuman hasil pemilu oleh KPU dan dilengkapi alat bukti seperti dokumen pelanggaran dan keputusan resmi KPU.

Jika alat bukti kurang lengkap, pemohon diberi waktu tiga hari untuk melengkapinya.

“Ketatnya aturan ini bertujuan memastikan bahwa hanya gugatan yang benar-benar memiliki dasar hukum kuat yang dapat diproses lebih lanjut. Sayangnya, banyak pemohon gagal memenuhi persyaratan ini, sehingga gugatan mereka ditolak atau tidak diterima,” lanjutnya.

Dalam proses persidangan, MK memanfaatkan berbagai jenis alat bukti, mulai dari keterangan para pihak, dokumen tertulis, keterangan saksi, ahli, hingga petunjuk elektronik. Namun, berbeda dengan peradilan pidana atau perdata, MK tidak mengakui alat bukti berupa pengakuan pihak yang berperkara.

“Dalam sistem peradilan MK, hakim tidak hanya fokus pada keadilan prosedural tetapi juga keadilan substantif. Ini mencakup evaluasi kualitas proses pemilu, bukan sekadar hasil akhir perolehan suara,” tegasnya.

Pendekatan substansial yang diterapkan MK bertujuan untuk menjaga kualitas demokrasi. Hakim MK tidak hanya mempertimbangkan pelanggaran prosedural, tetapi juga dampaknya terhadap hasil pemilu.

Misalnya, pelanggaran yang terbukti signifikan memengaruhi perolehan suara pasangan calon dapat menjadi dasar untuk mengabulkan gugatan.

Lebih jauh ia mengingatkan bahwa setiap pihak yang berperkara harus bersiap menghadapi konsekuensi hukum jika bukti yang diajukan ternyata tidak sah atau diperoleh secara ilegal.

“Penting bagi semua pihak untuk memastikan bukti yang diajukan memenuhi standar legalitas karena keputusan MK bersifat final dan mengikat seluruh masyarakat,” pungkasnya.

Sementara Itu Kurnia Oktasari, S.H., dan Nadhila Qisthy Nur Shabrina, S.H., peneliti LKHP Indonesia, menambahkan bahwa pembuktian di MK harus berlandaskan alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Majelis hakim memutuskan berdasarkan keyakinan yang didukung oleh minimal dua alat bukti yang relevan dan legal. Bukti yang diperoleh secara ilegal dapat menjadi dasar penolakan,” jelas keduanya.

Hingga batas waktu berakhir, publik masih menunggu apakah jumlah gugatan akan bertambah dan bagaimana MK akan memproses setiap perkara yang diajukan. Dengan rentang waktu maksimal 45 hari kerja untuk memutuskan, MK diharapkan dapat memberikan keputusan yang adil dan menjaga integritas demokrasi di Indonesia.

Reporter: Fatma

Editor: Irwan Maftuhin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *