POLITIK KITA,
MASIH POLITIK
PRAGMATIS
————————-
Kabul, S. Pd. I, M. Si
srtv.co.id Nganjuk Pencoblosan pemilu sudah usai beberapa waktu yang lalu. Saat ini sedang proses penghitungan ditingkat kecamatan (PPK). Untuk mengetahui hasil final, masih membutuhkan wsktu beberapa minggu ke depan. Itu secara formal.
Secara non formal, walaupun mungkin belum bisa tepat 100 persen, namun sudah bisa memberikan gambaran siapa-siapa para kontestasi yang berhasil melenggang. Dapat diketahui dari hasil kumpulan C.1 yang dimiliki oleh para saksi parpol saat di TPS . Atau dapat diketahui dari D.1 dari hasil rekap di tingkat kecamatan yang sudah selesai.
Dari data-data tersebut dapat diketahui siapa-siapa kontestan yang lolos untuk menjadi anggota dewan.
Di Nganjuk, sudah bisa terpetakan berapa perolehan kursi partai politik dipemilu 2019, walaupun belum seakurat data saat pengumuman oleh KPU nanti. PDIP memperoleh 13, PKB 9, Gerindra 6, Hanura 6, Golkar 5, Nasdem 3, Demokrat 3, PKS 2, PPP 2, Perindo 1,
Dari perolehan kursi di masing-masing partai politik, saya melihat lebih dominan pada kekuatan personal caleg. Baik kekuatan elektabilitas, kualitas, maupun kekuatan finansial. Yang paling dominan karena faktor kekuatan finansial.
Mengapa kekuatan finansial mendominasi yang menjadi pemenang? Kehendak dan keinginan masyarakat masih demikian. Keluhan para caleg saat bertemu konstituen selalu hal tersebut yang ditanyakan, “sangune pinten?”
Pasca reformasi pemilu bersih dapat dilaksanakan pada tahun 1999. Tahun 2004 sudah mulai tumbuh bibit-bibit menuju arah pragmatis. Tahun 2009 dan 2014 menguat dan sudah sangat pragmatis. Hari ini, pemilu 2019 mengkokohkan bahwa pemilu yang ada, pemenangnya pragmatis. Pemenangnya adalah para caleg yang memiliki modal besar.
Mengapa hal ini terjadi? Pertama, kondisi ekonomi masyarakat mayoritas yang belum tersejahterakan. Kondisi mayoritas masih di bawah garis kekurangan. Dengan kondisi kekurangan tersebut, disaat ada momentum seperti pemilu menjadi kesempatan untuk mencari apa yang dibutuhkan saat ini.
Kedua, pendidikan yang masih rendah juga memberikan dampak. Tidak tinggi pengetahuan juga tidak melahirkan pemikiran kebutuhan jangka panjang, tidak sampai berpikir pada tataran kemaslahatan yang lebih besar dan kebutuhan yang berjangka panjang.
Tentu kondisi demikian tidak bisa mempercepat proses pengembangan demokrasi secara partisipatif yang bermutu tinggi. Dimana tanda-tanda suatu negara disebut maju jika proses politik yang dijalankan lahir dari partisipasi masyarakat secara positif.
Penyaluran aspirasi secara demokratis terbuka untuk menentukan masa depan nasib bangsanya. Bukan saja nasib bangsanya di internal, tapi nasib bangsa ditingkat yang lebih luas.
Jika dalam suatu proses pemilu saat memilih, para pemilih melandaskan pilihannya bukan karena idealis demi masa depan negaranya, tapi berlandas prakmatis tanpa melihat kapasitas dan kualitas yang akan mewakili menyalurkan aspirasi kepentingan kebaikan bersama, maka akan melahirkan proses rutinitas, bukan produktifitas para wakil rakyat saat bekerja.
Tentu ini adalah PR besar bagi semua komponen, terutama para pemangku kebijakan. Bagaimana proses politik pragmatis semakin tahun tidak semakin berkembang subur, tapi semakin terkikis dan lahir politik idealis positif.
Nganjuk, 20 April 2019