Berita  

Review Pangku (2025) : Kisah Kemiskinan yang Menyengat dan Tak Terucapkan

Review Film Pangku, poster film Pangku

SRTV.CO.ID — Pangku”: Kesederhanaan yang Menampar, Keheningan yang Menggetarkan

Film Pangku karya Reza Rahardian membuktikan bahwa sebuah kisah tidak harus rumit untuk meninggalkan luka yang dalam. Justru lewat kesederhanaannya, film ini menabrak emosi penonton dan memperlihatkan realitas yang jarang diangkat tanpa dramatisasi.

Mengambil latar akhir 1990-an hingga awal 2000-an—masa ketika krisis moneter menggoyang fondasi ekonomi Indonesia—Pangku mengajak pemirsa menyusuri kehidupan keras masyarakat pesisir Pantura. Lokasi tidak pernah disebutkan secara gamblang, namun petunjuk berupa kendaraan berpelat E mengarah pada daerah sekitar Indramayu.

Sejak menit pertama, film ini tidak menawarkan romansa sinematik. Semua ditampilkan apa adanya: deru angin laut, rumah-rumah reyot, pasar yang riuh dengan percakapan kasar, hingga wajah kemelaratan yang begitu dekat dengan keseharian warga. Kemiskinan tidak dijadikan tontonan, melainkan kenyataan yang terasa menekan.

Alur Cerita yang Datar, Namun Visual Mengambil Alih

Dari sisi cerita, Pangku bukan tipe film dengan twist besar atau dialog panjang. Alurnya memang datar, bahkan cenderung sunyi. Tapi justru dalam ruang hening itulah Reza Rahardian menyembunyikan kekuatan film ini.

Visual bekerja sebagai bahasa utama—kamera statis, adegan panjang tanpa potongan, dan gestur kecil karakter menjadi narasi yang lebih lantang daripada kalimat.

Tokoh sentralnya, Sartika, adalah perempuan muda yang hamil di luar nikah dan diusir dari rumah. Dalam pelarian yang rapuh, ia bertemu Mbok Maya, perempuan pesisir pemilik warung kopi yang usahanya kerap bersinggungan dengan praktik “menggoda pelanggan” demi bertahan hidup.

Meski miskin dan tersisih, Mbok Maya tetap menjadi tempat bernafas bagi mereka yang lebih lemah. Hubungan antara Sartika dan Mbok Maya menjadi inti emosional film: dua perempuan yang sama-sama rapuh, namun tetap berusaha menopang satu sama lain dalam lingkaran kemelaratan.

Suami Mbok Maya: Diam yang Paling Bersuara

Salah satu karakter paling mencuri perhatian justru adalah suami Mbok Maya. Ia sering hadir, namun tidak mengucapkan satu kata pun. Walau tanpa dialog, keberadaannya tidak pernah hampa.

Diamnya menggambarkan figur ayah yang sangat nyata pada masa krisis: pendiam, ingin bertanggung jawab, tetapi tidak punya ruang untuk menyuarakan beban. Tatapan lelah dan gerak tubuhnya lebih fasih dari percakapan panjang.

Ia menjadi representasi jujur tentang laki-laki yang terjepit keadaan—hadir secara fisik, namun emosinya terkurung oleh tekanan ekonomi dan peran sosial.

Potret Lama yang Masih Terulang

Cerita Pangku sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Kita mengenal istilah “kopi pangku”, cerita kehamilan di luar nikah, perempuan yang tersisih, suami yang bekerja di luar negeri, hingga keluarga yang hidup dari hari ke hari.

Sartika pun akhirnya bertemu Hadi, seorang pria yang membuatnya berharap. Namun harapan itu runtuh karena Hadi ternyata sudah beristri—dan istrinya bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Lagi-lagi, Sartika harus menelan kekecewaan sambil mengandung.

Film ini menyoroti realitas pahit: perempuan miskin sering kali tidak punya peluang untuk menentukan masa depan. Mereka terjepit stigma, ekonomi, dan struktur sosial yang tidak adil.

Kemiskinan yang Tidak Menawarkan Jalan Keluar

Tidak ada tokoh dalam Pangku yang benar-benar menemukan kebahagiaan. Ini bukan kisah tentang kemenangan, melainkan tentang bertahan hidup.

Sartika, Mbok Maya, dan suaminya menerima pekerjaan yang merendahkan martabat bukan karena mau, tetapi karena tidak ada pilihan lain. Kemiskinan di film ini bukan hanya kondisi, tapi sistem—lahir dari ketimpangan pendidikan, diskriminasi, kurangnya akses pekerjaan layak, hingga tekanan sosial yang berulang tanpa henti.

Reza Rahardian tidak menggurui. Ia tidak mengarahkan penonton untuk bersimpati atau menghakimi. Ia membiarkan semuanya terasa apa adanya—sunyi, perih, dan tidak menyisakan jawaban.

Penutup: Sunyi yang Menyisakan Luka Panjang

Pangku adalah film yang bergerak pelan, namun setiap langkahnya meninggalkan bekas. Lewat visual yang suram, karakter yang jarang bicara, dan alur yang sekeras kehidupan itu sendiri, film ini mengingatkan kita bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan untuk meraih akhir bahagia.

Sebagian orang, terutama yang lahir miskin, hanya bisa memilih untuk tetap hidup di tengah ketidakadilan yang menggulung.

Dengan kesederhanaannya, Reza Rahardian menghadirkan kisah yang menghantam—tanpa teriakan, tanpa dramatisasi—hanya dengan kejujuran yang telanjang dan sunyi yang menyesakkan.

Editor : AMS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *