Berita  

Satu Semester Program Makan Bergizi Gratis, Pemerataan di Pacitan Masih Jauh dari Harapan

Pacitan, SRTV.CO.ID – Setengah tahun sejak digulirkannya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Pacitan, janji pemerataan gizi bagi peserta didik seolah masih sekadar wacana.

Dari 63.000 siswa yang tercatat dari PAUD hingga SMA, hanya 5.708 anak yang benar-benar menikmati manfaat program. Itu pun terbatas hanya di dua kecamatan Pacitan dan Tulakan.

Ironis, mengingat gizi seharusnya bukan soal lokasi, melainkan hak dasar semua anak.

Di Kecamatan Tulakan, 13 sekolah tercatat telah menerima distribusi makanan bergizi, dengan total 2.805 siswa. Sementara di Kecamatan Pacitan, 7 sekolah dengan 2.903 siswa mendapatkan layanan serupa.

Namun di 10 kecamatan lainnya, puluhan ribu siswa masih menanti tanpa kepastian, tanpa informasi, bahkan tanpa wacana kapan akan dimulai.

Kepala Dinas Pendidikan Pacitan, Budiyanto, mengakui mandeknya pemerataan program ini. Dalam wawancara pada Rabu, 11 Juni 2025, ia menyebut belum ada respons atas usulan yang telah diajukan kepada perwakilan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

“Belum ada perkembangan. Bahkan usulan yang kita sampaikan belum ditanggapi. Kami hanya bisa menunggu,” ujarnya.

Menurut Budiyanto, akar masalahnya ada pada belum jelasnya kebijakan dari pemerintah pusat yang menjadi penanggung jawab penuh pendanaan program melalui Badan Gizi Nasional.

“Semua dibiayai pusat. Kita hanya diberi tugas mendata siswa. Soal kapan program berjalan di wilayah lain, kami belum punya informasi,” tambahnya.

Padahal, jika melihat implementasi di dua kecamatan, secara teknis pelaksanaan berjalan cukup baik.

Dapur umum dibangun, distribusi berjalan lancar, dan antusiasme siswa serta guru tinggi.

Tapi keberhasilan ini tak bisa menjadi acuan keseluruhan, karena fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan yang mencolok.

Program MBG digagas sebagai upaya menurunkan angka stunting dan mendongkrak kualitas pendidikan melalui pemenuhan kebutuhan dasar siswa: makanan sehat dan bergizi.

Tapi jika hanya dua kecamatan yang merasakan, lalu bagaimana dengan nasib anak-anak di kecamatan lain seperti Bandar, Nawangan, atau Donorojo?

Tak sedikit guru di wilayah pinggiran yang mengeluhkan tidak adanya informasi resmi maupun kesiapan logistik. Hal ini memperkuat dugaan bahwa komunikasi antar lembaga, baik vertikal maupun horizontal masih lemah.

“Kami sudah siapkan data, mulai dari jumlah siswa, lokasi sekolah, hingga kesiapan lahan untuk dapur. Tapi tanpa komando pusat, daerah hanya bisa menunggu,” tegas Budiyanto.

Ia berharap semester kedua menjadi momentum percepatan, terutama untuk wilayah pinggiran yang justru lebih membutuhkan intervensi gizi secara serius.

Saat ini, dua titik dapur umum telah dibangun di Pacitan dan Tulakan. Rencananya, setiap kecamatan akan memiliki dapur sendiri. Namun lagi-lagi, semua tergantung pusat.

Program sebesar MBG tak hanya membutuhkan niat baik, tapi juga sistem yang responsif dan berpihak. Ketika akses gizi menjadi eksklusif dan hanya dinikmati sebagian kecil siswa, maka ada ketidakadilan yang harus disoroti. Pemerataan gizi bukan sekadar teknis distribusi, melainkan soal keadilan sosial dan masa depan generasi muda.

Reporter: Rojihan

Editor: Tim Redaksi SRTV

Exit mobile version