Madiun, SRTV.CO.ID – Skandal pengerukan tanah ilegal di bantaran Kali Madiun, tepatnya di kawasan Mbiting, Kelurahan Josenan, Kecamatan Taman, kembali menuai sorotan tajam publik.
Komisi III DPRD Kota Madiun akhirnya angkat bicara dan menegur keras tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang diduga terlibat dalam aktivitas yang dinilai cacat prosedur dan berpotensi melanggar hukum tersebut.
Ketua Komisi III DPRD Kota Madiun, Nur Salim, dengan tegas mengungkapkan bahwa pihaknya telah memanggil dan memberikan peringatan keras kepada tiga dinas terkait, yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas PUPR, dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim).
“Saya sudah koordinasi dan menegur OPD mitra kerja Komisi III. Ketiganya telah kami mintai keterangan langsung,” ujar Nur Salim saat dikonfirmasi SRTV, Rabu (18/6/2025).
Menariknya, dari hasil klarifikasi, dua dari tiga OPD justru mengaku hanya menjalankan perintah, tanpa kejelasan dasar hukum maupun perencanaan yang terpublikasi.
Dinas Perkim mengklaim sekadar menyediakan truk pengangkut tanah, sementara DLH menyebut tanah sedimen itu digunakan untuk pengurukan TPA Winongo.
Pernyataan ini memunculkan indikasi kuat adanya instruksi sepihak, tanpa melalui prosedur perizinan formal sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, khususnya perizinan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo selaku otoritas atas daerah aliran sungai.
Lebih mencengangkan lagi, Dinas PUPR Kota Madiun secara terbuka mengakui belum mengantongi izin dari BBWS atas aktivitas pengerukan tersebut.
Ini menegaskan dugaan bahwa kegiatan itu memang dilakukan secara serampangan dan berpotensi menabrak hukum, khususnya terkait Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Air.
Nur Salim menyayangkan lemahnya koordinasi antarinstansi serta kurangnya tanggung jawab struktural.
“Harusnya kegiatan ini dikoordinasikan dengan instansi di atasnya, seperti BBWS. Ini soal wilayah sungai, bukan domain sembarangan,” tegasnya.
Sayangnya, saat disinggung soal kemungkinan pelanggaran hukum yang lebih serius, Nur Salim menegaskan bahwa hal tersebut di luar ranah legislatif, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat atau LSM jika hendak melaporkan ke penegak hukum.
“Fungsi kontrol DPRD ada batasnya. Kalau masyarakat atau LSM ingin melaporkan, kami persilakan,” ucapnya.
Pernyataan ini mengundang tanda tanya: apakah DPRD membiarkan pelanggaran prosedur atas nama keterbatasan wewenang?
Sejumlah kalangan sipil mulai mendorong investigasi independen, termasuk dari lembaga pengawasan lingkungan dan penegak hukum.
Ada kekhawatiran, proyek-proyek pengurukan serupa bisa menjadi pintu masuk praktik korupsi terselubung, terlebih jika dilakukan tanpa perencanaan, tanpa izin, dan tanpa pengawasan teknis.
Aktivitas pengerukan tanah di kawasan sempadan sungai bukan hanya melanggar batas tata ruang, tetapi juga rawan merusak ekosistem serta memperbesar risiko banjir dan longsor.
Reporter: Rio Hermawan
Editor: Tim Redaksi SRTV