Opini  

Sahnya SE Pejabat Pemerintah (Bupati) Ditinjau dari Aspek Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis

Prayogo Laksono
Prayogo Laksono

Oleh: Prayogo Laksono, SH. MH. CLI. CLA. CTL. CRA*

Opini, srtv.co.id – Surat Edaran (SE) pejabat pemerintah kedudukannya dalam sistem hukum di Indonesia bukan termasuk sebagai kategori peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan SE tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum, di antaranya SE Bupati.

Keabsahan SE pejabat pemerintah harus tetap sah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam pembuatan dan pelaksanaannya.

Menurut teori hukum Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharuasan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat.

Selanjutnya, menurut Gustav Radbruch seorang ahli filosofi hukum seperti stammler dari aliran neo-kantian, bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan kontruktif. Tanpa cita hukum, hukum-hukum akan kehilangan maknanya.

Jika dikoreksi di dalam pemesanan peraturan dan undangan, proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum ke dalam norma hukum tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan.

Tiadanya kesadaran akan pembentukan dan pelaksanaan nilai-nilai tersebut akan terjadi pertentangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat.

Apabila cita hukum dan norma hukum yang dibuat ditentukan dengan SE, maka keabsahan secara yuridis, filosofis, dan sosiologis dapat diartikan sebagai berikut:

Yuridis pengaturan mengenai SE pejabat pemerintah memang tidak diatur dalam peraturan undangan. Namun SE adalah bagian dari kewenangan pemerintah untuk mengeluarkan apapun yang baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan manapun.

Secara filosofis, SE pejabat pemerintah merupakan hal yang merupakan kebutuhan teknis untuk memperjelas norma-norma yang ada di atasnya yang belum jelas, sehingga diatur lebih lanjut melalui SE.

Secara sosiologis, SE pejabat pemerintah sangat dibutuhkan dalam kondisi yang kedekatan dan untuk memenuhi kekosongan hukum. Akan tetapi jangan sampai peraturan (dalam SE) kontra dengan peraturan yang lebih tinggi.

Lalu apakah SE itu bersifat mengikat? Memang SE adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, dan tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya. Namun perlu digarisbawahi, SE pejabat pemerintah dibuat karena ada peraturan yang terkait yang tidak jelas, yang butuh ditafsirkan.

Meskipun SE bersifat tidak mengikat, namun kedudukannya dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip azas-azas umum pemerintahan yang baik.

Nah, berdasarkan argumentasi tersebut, jika kita kaitkan dengan SE Bupati Nganjuk yang belakangan ini ramai dibicarakan, maka dapat diurai tentang kedudukan SE adalah sebagai berikut:

– SE Bupati bukan peraturan perundang-undangan. Hal itu didasarkan pada SE Bupati tidak memuat tentang norma tingkah laku (larangan, perintah, izin, dan ungkapan), kewenangan (berwenang dan tidak dilarang), dan penetapan.

– SE adalah naskah yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan / atau petunjuk cara melaksanakan hal-hal tertentu yang penting dan kedekatan.

– SE tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan bupati, apalagi peraturan di atasnya. Tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.

– SE mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. SE pemberitahuan tidak ada sanksi karena bukan norma.

– SE merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya / orang di bawah binaannya. SE sering dibuat dalam bentuk SE pejabat pemerintah.

– SE tidak mempunyai kekuatan keluar, karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.

– Pejabat penerbit SE tidak memerlukan dasar hukum, karena SE merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan sendiri berdasarkan kewenangan bebas. Namun perlu beberapa faktor sebagai dasar pertimbangannya:

  1. Hanya diterbitkan karena kedekatan; Ada peraturan yang terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan; Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
  3. SE adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Meskipun tiada resiko, namun dapat dimungkinkan segala produk keputusanya tetap dapat diuji melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atas dianggapnya tidak memenuhi azas-asas hukum pemerintahan yang baik, di antaranya azas kecermatan, ketelitian, dan kemanfaatan.

*Penulis merupakan seorang pengamat hukum pemerintah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *