Memaknai Takdir Oleh: MUHAMMAD RAHMATULLAH PEMAHAMAN

srtv.co.id Jakarta | makna takdir dalam Islam menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim dan muslimah. Sebab, pemahaman akan takdir ini akan dapat menentukan sikap dan arah seorang muslim terhadap berbagai macam hal yang terjadi selama kehidupannya.

Terutama tentang makna takdir, sikap seorang hamba terhadap takdir itu dan bagaimana melakukan upaya menghadapi takdir itu sendiri.

Pertama, bagaimana kita memaknai dan memahami takdir. Konsep takdir bagi Umat Islam, difahami sebagai bagian daripada Aqidah, karena ia merupakan bagian daripada Iman terhadap Qadha dan Qadar, dimana kata Takdir ini merupakan kata yang berasal dari Qadar. Karenanya, banyak
juga ulama-ulama yang membahas konsep takdir ini dalam buku yang telah mereka buat. Kata takdir (taqdir) terambil.

dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/ batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.” “Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya” (QS. Al-Thalaq [65]: 3).

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.

Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut para ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut “hukum – hukum alam.”

Quraish Shihab, tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan Sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Quran adalah untuk hukum – hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.

Dalam Al-Quran “sunnatullah” terulang sebanyak delapan kali, “sunnatina” sekali, “sunnatul awwalin” terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat.

Kedua, bagaimana sikap kita terhadap takdir. Ada beberapa pendapat tentang bagaimana seorang manusia menyikapi takdir tersebut yang sesuai dengan aturan agama. Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama. Pertama, Golongan Jabariah, mereka yang mengatakan bahwa takdir adalah keputusan Allah dimana baik dan buruk nasib sesorang ditentukan sepenuhnya oleh Allah tanpa manusia bisa berupaya dan mengganti keadaan tersebut.

Di sini manusia dituntut untuk pasrah terhadap ketentuan yang telah diberikan. Kedua, Golongan Qadariyah, mereka yang mengatakan bahwa nasib dan takdir seseorang ditentukan.

oleh seberapa besar usaha orang tersebut tanpa ada intervensi dan keikutsertaan Allah terhadap perjalanan hidup seorang hamba, dan lebih lanjut menyatakan bahwa di situ terhampar lahan luas dimana manusia bebas dan berkuasa penuh terhadap nasib yang akan dilalui nanti. Dan golongan terakhir, yaitu Golongan Ahli Sunnah waljamaah, adalah mereka yang mengatakan bahwa Allah telah menetapkan nasib dan takdir seseorang namun manusia tetap dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin untuk
merubah keadaan dan kondisiya, dan perubahan itu bisa diupayakan atas kuasa Ilahi dan ridlo dari-Nya meski nasib dan suratan takdir telah tertulis.

Dari sini kita bisa mengambil konklusi bahwa manusia tetap dituntut untuk berupaya seoptimal mungkin untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat dengan seimbang tanpa melupakan sisi pasrah dan tawakal manusia terhadap Penciptanya.

Pasrah bukan berarti sikap fatalis yang hanya menunggu perubahan dari Allah atau bertinak sesuatu yang irasional, seperti tidak mempunyai senjata tetapi melawan musuh, meninggalkan mobil tanpa menguncinya karena yakin dengan takdir Allah apakah mobil itu hilang atau tidak. Dan rezeki maupun karier pun tidak akan berkembang jika kita hanya berpangku tangan.

Berarti disitu ada sisi upaya manusia dan intervensi Tuhan untuk menetapkan sesuatu terjadi atau tidak, semua sangat tergantung dari optimalisasi usaha manusia dan keridhaan Ilahi. Dalam Qur’an Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS 13:11).

Ketiga, bagaimana upaya kita menghadapi takdir. Dalam hal ini kita dapat menyimak beberapa peristiwa yang pernah terjadi pada masa Sahabat Rasulullah Saw. Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya: “Apakah Anda lari menghindar dari.

takdir Tuhan?” Umar r.a. menjawab,”Saya lari/menghindar
dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain.” Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau
pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas.

Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinyadengan jawaban Khalifah Umar
r.a. Rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yangtelah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir.

Bukankah Tuhan telah menganugerahkan
manusia kemampuan memilah dan memilih?. Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk.

Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi. Mari kita terima takdir “positif” dengan sikap ikhtiyar, ikhlash dan syukur, sedangkan takdir “negatif”(merugikan) dengan sikap sabar, tasammuh dan ikhtiar.

Meskipun segala sesuatunya telah ditakdirkan, ada banyak amalan yang bisa menentukan arah keberpihakan takdir Allah. Amalan tersebut juga adalah bagian dari takdir-Nya.

Di antara yang bisa mengubah takdir adalah ikhtiar atau usaha. Dalam beberapa ayat, banyak ditemukan bahwa sejatinya Allah mengikuti amalan dan usaha manusia. Kaya-miskin atau sukses tidaknya usaha dan aktivitas kita tergantung dari seberapa besar usaha yang dilakukan. Jika ikhtiar dan usaha kita sungguh-sungguh, Allah akan sungguh-sungguh penuhi permintaan kita. Wallahu A’lam.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *